My sweethearts

Yaa, seperti judul yang aku buat, memang anak-anak yang aku ajar adalah anak-anak yang manis. Mereka semua sebenarnya pintar dan cerdas. Oleh karena itu, harus ada guru yang rela berkorban menyisihkan waktunya untuk belajar dan bermain bersama mereka. Mereka butuh akan hal itu, mereka butuh pengetahuan dan aku yakin mereka adalah anak-anak cerdas.
Yaa, lama sudah sebulan aku berada di kabupaten ini. Dimana lagi kalo bukan di Kabupaten Fakfak, Papua Barat yang kata orang itu adalah pulau paling ujung yang sulit ditempuh oleh banyak orang karena selain jauh, ongkos pun mahal. Terbukti memang, selain ongkos yang mahal, semua harga barang disini pun mahal. Tidak terasa, sudah memasuki 3 minggu aku berada di kampung ini, Kampung Urat, Distrik Fakfak Timur. Kampung adalah sebutan sebuah desa, sedangkan distrik adalah sebutan sebuah kecamatan. Itulah salah satu hal unik disini yang kudapat.
Anak-anakku adalah anak-anak yang manis, kuat, lucu, dan unik. Sehingga, aku memerlukan waktu ekstra untuk mempelajari karakter mereka satu persatu. Pertama kali aku tiba di kampung, satu karakter mereka yang memang melekat sampai kapanpun yaitu mereka anak-anak yang kuat dan polos. Kenapa aku bilang begitu? Bagaimana tidak, pertama kali aku turun dari jonson, sebuah perahu yang bermesin dan tidak beratap, anak-anak menyambutku dan langsung dengan sigap membawakan barang-barangku yang ku bisa bilang itu adalah barang-barang yang lumayan berat. Aku sampai tidak tega melihat anak-anak itu membawakan barang-barangku. Sampai ka Angga (Pengajar muda yang kugantikan) bilang “biarkan nce, anak-anak itu adalah anak-anak yang kuat, mereka su terbiasa bawa barang-barang begitu, dan mereka ikhlas sekali menolong”. Mendengar itu aku sangat takjub, wow. Suatu hal yang sangat jarang sekali aku temukan di kota.
Karakter kedua yang kutemukan dalam diri anak-anakku adalah mereka anak yang lucu. Seperti biasa, setiap sore aku mengajar anak-anak mengaji. Sampai-sampai ada seorang pakce disini mengira aku adalah lulusan pesantren. Hihi J Setelah mengaji, aku sisipkan ajar baca dan hitung. Awalnya, anak-anak yang datang hanya sedikit, hanya 3 orang. Lalu, kuputuskan untuk keliling tempat anak-anak biasa bermain, lalu aku ajak mengaji. Yaaa, semua butuh waktu, dan alhamdulillah yang datang mengaji lumayan banyak.
Aku turun dari rumahku dengan memakai mukena. Aku melihat anak-anak sedang asik bermain kelereng dimana-mana. Ketika satu anak melihatku, dia langsung bilang kepada teman-temannya “heey, itu ibu guru su turun, ayo katong cepat ganti baju dan mengaji, heey heyy..”, terlihat sekali anak itu sangat bersemangat. Siapakah anak itu? Dia adalah Hidayat, murid kelas 3 yang biasanya menghampiri rumahku untuk menjemput berangkat ke sekolah. “ayooo anak-anak, katong mengaji yuk di masjid, ibu tunggu eee di masjid, su mandi eee”, kataku kepada mereka sambil tersenyum. Lalu, mereka banyak yang berbisik-bisik dan cepat pergi ke rumah masing-masing untuk mandi, walaupun tidak semua anak.
“ibu-ibu, saya mengaji kan ya ibu”, “ibu-ibu saya juga ibu”, “ibu-ibu, anak-anak banyak yang masih main kelereng disana, dong tara mau mengaji ibu”, anak-anak lucu itu saling bersahutan. Aku hanya cukup tersenyu dan bilang “ya sudah eeee biarkan saja dulu yaa, besok-besok katong ajak mereka sama-sama mengaji ya, sekarang tara apa-apa toh kalian hanya segini, besok ajak mereka mengaji sudah”. Yaaa, aku langsung bersemangat mengajar mereka mengaji.
Karakter ketiga yang kutemukan adalah mereka anak-anak yang cepat sekali emosi. Suatu hari di sekolah, mereka aku ajari bermain kartu angka. Jadi aku bagikan mereka kartu satu-persatu, kemudian aku menyebutkan jumlah angka dari kecil hingga besar, kemudian mereka mengumpulkannya di tengah. “heey, muju itu salah, ko tara mengertikah, ko punya otak tidak, tadi ibu guru bilang itu bukan”, “heey minarni, ko pu itu taro di tengah, eee ko ini tara punya otakkah kah”, berbagai macam kalima-kalimat emosi anak-anak itu keluarkan dengan nada tinggi. Kemudian setelah bermain, aku menceritakan tentang sebuah emosi, dan aku mencontohkan persis sama dengan yang mereka lakukan. Lalu kulihat anak-anak itu tersenyum, merasa bahwa mereka melakukan itu. Semoga emosi anak-anak ini berkurang semakin hari ya Allah. Hehe J
Inilah anak-anakku yang lucu itu, mereka semua memang butuh guru ekstra yang mau mengerti mereka dan mengajari mereka dengan hati. Semoga aku selalu istiqomah mengajarkan mereka dari hati dan menjadi teman mereka yang bisa mengerti mengerti mereka.

Notes:
-         Su                    : sudah
-         Pu                   : punya
-         Tara                : tidak
-         Katong           : kita

-         Biasa orang disini selalu menyingkat-nyingkat kata dan memakai kata sudah di akhir kalimat.


Komentar