Tanda Mata Ibu Cahaya

Hari itu sangat cerah sekali. Seperti biasa, pagi-pagi anak-anak sudah kumpul di rumahku. Hari ini sangat lain, mereka datang bukan untuk menjemputku, tapi mereka menjemput bibit pohon yang telah aku bawa. Lumayan berat dan lumayan sangat banyak juga. Kami bergotong-royong membawa bibit-bibit pohon itu ke sekolah yang ada di atas bukit itu. “Ibu, berhenti dulu eee, katong cape”, kata anak-anakku dengan wajah yang sudah penuh keringat. “iyo sudah, jangan dipaksakan sayang”, jawabku. Kami membawa bibit pohon itu dengan semangat’45 sampai ke atas sekolah hingga bermandi keringat di pagi hari.
“waaaaahhhh bibit pohon su datang”, seru anak-anakku yang sedang menunggu guru di tangga halaman sekolah. Mereka sangat senang sekali melihat bibit pohon itu sudah datang. Mereka juga jadi tidak sabar untuk segera menanam. “Ibu, ini saya pu ya”, “ah, kalau begitu ini juga saya pu”, “ibu, nanti ibu yang tanam eee, jadi ada tanda mata ibu di sekolah ini sampee kita besar nanti”, seru anak-anakku yang saling bersahutan. Aku saja sampe bingung mau jawab yang mana. Hihi..
Aku tiba-tiba berpikir, tanda mata? Lucu sekali aku mendengar kalimat itu keluar dari mulut mereka. Aku langsung menangkap apa yang dimaksud mereka yaitu kenang-kenangan maksudnya hehe. Mereka menganggap aku yang menanam semua untuk mereka dan mereka punya satu pohon per masing-masing siswa. Maka, aku tegaskan kepada mereka bahwa yang menanam bukan berarti yang memiliki pohon itu. Semua pohon milik sekolah dan milik kita bersama SD Inpres Urat. akhirnya mereka mengerti juga apa yang aku maksud.
“Ibu...ibu mari katong cepat menanam sudah. Nanti mati pohonnya ibu”, kata salah satu bajak laut cilik yang sangat lucu.
“iya sayang, ini kita mau menanam toh. Mari kita senam dulu ya, baru kita menanam pohon bersama Ibu Eka juga”, jawabku.
Seperti biasa di hari Jumat, kami selalu melaksanakan senam rutin di pagi hari. Kemudian selesai senam, kami biasa kerja bakti membersihkan sekolah. Ketika saya sedang beristirahat sejenak sambil kipas-kipasan, anak-anak mengurumuni sesuatu. Kemudian, dengan rasa penasaran aku datang ke mereka dan melihat apa soh yang sedang mereka lihat. Ternyata, mereka sedang memandangi bibit-bibit pohon itu.
“Ibu ... kalau ibu su pulang itu, pohon-pohon ini nanti su besar dan banyak buahnya ya ibu”, kata anakku yang bernama Zaenal.
“iya ibu, ini nanti saya jaga tanda mata dari Ibu Cahaya pu”, kata Fahrul menambahi Zaenal.
Aku tersenyum malu, kemudian aku berkata, “iya sayang, amin. Makanya, kita sudah susah-susah tanam, kita juga harus merawat ya. Nanti kalau tidak dirawat, semuanya mati. Tidak jadi pohon deh. Tanda mata dari ibu hilang deh. Hehe”.
“tenang saja ibu, kita rawat ibu, nanti kita bikinkan pagar ibu biar anak-anak kecil tidak mencabuti ini pohon ya ibu”, jawab Fahrul.

Sungguh luar biasa semangat anakku. Tetapi aku masih teringat dengan kata-kata “Tanda Mata”. Sebuah kenang-kenangan yang akan mereka ingat dan selalu mereka ceritakan ke orang-orang.

Komentar