Pelita itu ... mereka

Anak-anak yang cerdas, polos, jujur, lembut hatinya, dan selalu ikhlas membantu orang lain. Ya, itulah anak-anakku, Bajak laut cilik SD Inpres Urat, Kampung Urat, Distrik Fakfak Timur, Papua Barat. Menurutku, mereka adalah anak-anak yang luar biasa. Mereka lahir tanpa dosa dan sekarang mereka adalah asupan semangat bagiku.
Pertama kali sampai di kampung, semua gelap karena memang kampung ini tidak ada listrik. Tetapi, meskipun tidak ada listrik, masyarakat mempunyai mesin genset, walaupun tidak semua rumah punya. Bisa dibilang, sebagian masyarakat memakai genset untuk menyalakan lampu di malam hari, sebagian lagi memakai pelita untuk penerangan.
Rumahku selalu ramai oleh anak-anak. Mereka datang bukan hanya untuk bermain, tetapi juga untuk belajar. Sore dan malam adalah waktu saya memberikan pelajaran tambahan kepada mereka. Sangat miris sekali ketika tahu bahwa anak kelas 3 SD belum bisa membaca atau bahkan mengenal huruf. Beberapa anak kelas 4 juga belum lancar membaca. Tetapi yang saya kasih jempol buat mereka adalah pelajaran berhitung. Mereka sangat senang sekali pelajaran berhitung dan mereka pintar dalam pelajaran tersebut.
hari itu rumahku gelap karena genset tidak menyala. Kemudian, seperti biasa,setiap malam anak-anak selalu datang ke rumahku untuk les. Aku pikir mereka tidak akan datang karena lampu tidak menyala. Ternyata, tiba-tiba ada 3 orang bajak laut cilik yang datang ke rumahku malam itu. Mereka adalah Hidayat, Jon, dan Manusela.
“Ibu ... les kah tidak?”, tanya mereka kepadaku.
“waaah, kalian datang juga yah. Biasanya tidak ada yang mau les kalau lampu tidak menyala.” Jawabku.
“ah ibu, baik ibu, tara apa-apa toh lampu tidak menyala. Hanya kami saja yang mau les. Pakai pelita saja ibu”, sahut Hidayat dan Jon.
Aku langsung terhenyak mendengar jawaban mereka. Anak-anak ini sangat luar biasa sekali, meskipun gelap mereka tetap semangat mau belajar.
“baik sayang, mari katong belajar ya. Ayo semangat, ibu juga jadi semangat ini. tara apa-apa ya pakai pelita saja”. Kataku kepada mereka.
Kemudian kami memulai les malam itu dengan penuh semangat. Hari itu ada 4 orang yang belajar, Jon, Hidayat, Manusela, dan ditambah adik piaraku Ita.

Belajar itu tidak mengenal waktu, tempat, dan segala macam kendala. Meskipun gelap, masih ada pelita yang menerangi untuk belajar. Kalaupun suatu saat semangat menurun, masih ada anak-anakku yang menjadi pelita bagiku hingga membangkitkan semangatku berkobar kembali.

Komentar